Nikah sirri dalam fiqih kontemporer lebih dikenal dengan istilah nikah ‘urfi (zawaj ‘urfi). Nikah ‘urfi adalah suatu pernikahan yang memenuhi syarat-syarat pernikahan tetapi tidak dicatat secara resmi oleh pegawai pemerintah yang menangani pernikahan (baca: KUA). Dari sini, dapat kita pahami bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan yang menonjol antara pernikahan syar’i dengan pernikahan ‘urfi (nikah sirri). Perbedaannya hanyalah antara resmi dan tidak resmi. Karena pernikahan ‘urfi adalah sah dalam pandangan syar’i disebabkan terpenuhinya semua persyaratan nikah seperti adanya wali dan saksi, hanya saja belum dianggap resmi oleh pemerintah karena belum tercatat oleh pegawai KUA setempat sehingga mudah untuk digugat.
Mengenai nikah ‘urfi ini, berikut kami bawakan Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Riset Ilmiyyah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia) no. 7910, pertanyaan ketiga.
Pertanyaan:
س3: المسلم والمسلمة مطالبان من حيث القانون بالحضور في مكتب تسجيل الزواج، فيذهب الرجل والمرأة إلى المكتب قبل الزواج مع الشهود، ويتم هناك الإيجاب والقبول، فهل هذا يكون نكاحا شرعيا، فإذا كان الجواب بالنفي فهل المسلم أو المسلمة يلزمه التسجيل القانوني قبل عقد النكاح الشرعي، مع العلم بأن التسجيل هذا يفيد كلا من الزوج أو الزوجة حقه عند حصول النزاع؟
“Dalam undang-undang Negara, seorang muslim dan muslimah yang ingin menikah dituntut untuk datang ke kantor pencatatan akad nikah (baca: KUA), sehingga keduanya-pun datang ke KUA bersama para saksi dan melangsungkan akad nikah di sana. Apakah ini yang disebut nikah yang syar’i?
Bila jawabannya adalah tidak, maka apakah muslim dan muslimah harus mendaftar dan mencatat sebelum akad nikah sesuai dengan undang-undang? Perlu diketahui bahwa pencatatan semacam ini sangat bermanfaat bagi suami istri ketika terjadi percekcokan antara mereka.”
Jawab:
ج3: إذا تم القبول والإيجاب مع بقية شروط النكاح وانتفاء موانعه صح، وإذا كان تقييده قانونا يتوقف عليه ما للطرفين من المصالح الشرعية الحاضرة والمستقبلة للنكاح وجب ذلك. وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
Apabila telah terjadi akad ijab qobul dan semua syarat nikah telah terpenuhi serta tidak ada penghalang yang membatalkan akad tersebut, maka pernikahan semacam ini, hukumnya adalah sah. Namun apabila terdapat peraturan/undang-undang bahwa pencatatan akad nikah membawa masalahat bagi kedua mempelai baik untuk masa sekarang maupun masa depan, maka pencatatan akad ini (seperti di KUA, pen) wajib dipatuhi.
Wa billahit taufiq. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shohbihi wa sallam.
Yang menandatangani fatwa ini:
Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
Wakil Ketua: Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi
Anggota: Syaikh ‘Abdullah bin Ghodyan, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud
Kesimpulan
Pertama: Nikah sirri, yaitu nikah tanpa melalui pencatatan KUA adalah nikah yang sah selama memenuhi syarat-syarat pernikahan seperti adanya wali.
Kedua: Pencatatan nikah memang tidak ada pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, namun itu hanyalah politik syar’i yang tidak bertentangan dengan agama, bahkan memiliki banyak manfaat.
Ketiga: Wajib bagi setiap muslim untuk mentaati peraturan pemerintah dengan melakukan pencatatan akad di KUA dan tidak melanggarnya karena ini termasuk salah satu bentuk ketaatan kepada pemimpin. Karena Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 59). Dari sini dapat kita katakan bahwa nikah tanpa KUA hukumnya sah karena semua syarat nikah telah terpenuhi hanya saja berdosa karena melanggar peraturan pemerintah yang bukan maksiat.
Kami sarankan agar pembaca bisa membaca artikel Al Ustadz Abu Ubaidah hafizhohullah di link berikut: http://abiubaidah.com/nikah-tanpa-kua.html/
Hanya Allah yang beri taufik.
Diselesaikan di Panggang, Gunung Kidul, 10 Rabi’ul Awwal 1431 H
Artikel asli: https://rumaysho.com/872-sahkah-nikah-sirri.html